Isu bangkrutnya NET TV telah menyebar. Tak sekadar kinerja manajemen, penurunan kinerja televisi besutan Wishnutama ini pun dinilai banyak pihak bisa memengaruhi persepsi investasi dan perekonomian nasional. Apalagi, sedari awal NET TV diketahui hanya menyasar segmen pasar tertentu sehingga stasiun TV ini begitu berani berinvestasi besar demi kualitas gambar yang baik.
Sebagai TV pembeda dan pendobrak, NET TV dikenal konsumen Indonesia dengan beberapa programnya yang boleh dibilang lebih kekinian dan berbeda dibandingkan dengan stasiun televisi tetangga. Namun, citra tersebut rupanya belum cukup untuk membuat manajemen terbebas dari jurang kesulitan.
Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menyebutkan bahwa bisnis pertelevisian sedang sangat berat karena menghadapi inovasi industri digital.
“Ini adalah era #MO. Stasiun TV yang basisnya heavy asset tergerus oleh pelaku usaha baru yang light asset,” ujar Rhenald saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Sabtu (10/8/2019). “Industri pertelevisian tengah memasuki fase yang sangat berat. Model bisnis televisi yang kita kenal tiba-tiba dihadang oleh model baru.”
Era #MO dianggap sebagai peradaban entrepreneurship anak-anak muda berbasis teknologi. Untuk membuat dampak besar dan ekonomi heboh tidak perlu modal besar karena peradaban ini didukung oleh enam pilar: Artificial Intelligence (AI), Big Data, Super Apps, Broadband Network, Internet of Things (IoT), dan Cloud Computing.
Tagar MO juga dapat diartikan dengan tujuan mobilisasi dan orkestrasi. Sebab, di era baru, #MO membuat bisnis harus hidup dari cara mobilisasi dan orkestrasi ekosistem pakai data. Rhenald juga mengatakan, pendatang baru seperti Youtube dan Netflix, serta semacamnya mampu memberikan konten yang sama dengan televisi, tetapi bisa diakses masyarakat dengan mudah.
“Dalam era #MO pemain baru tak perlu memiliki stasiun sendiri, cukup mengorkestrasi para pembuat konten dan bisa tayang di sosial media, apakah Youtube maupun Netflix,” kata Rhenald.
Dengan kondisi bisnis yang sudah berubah, Rhenald menganggap biaya produksi stasiun televisi konvensional menjadi lebih mahal dibandingkan dengan yang berbasis platform. Biaya produksi televisi konvensional lebih besar karena harus memproduksi program yang bisa ditayangkan selama 24 jam. “Sementara Youtube dan Netflix tidak harus memproduksi sendiri,” ujarnya.
Rhenald menganggap bahwa bisnis pertelevisian konvensional tengah “berdarah-darah” mengingat fenomena shifting alias perpindahan ke digital. “Apakah berdarah-darah? Ya! Dengan terjadinya shifting dari TV ke sosmed, tekanan penurunan pendapatan TV mengakibatkan biaya produksinya mahal,” ungkap dia.
Secara manajemen, apa yang dikatakan oleh Rhenald tentu masuk akal dan logis secara keilmuan. Namun, ada yang menarik terkait penurunan kinerja NET TV. Sebagaimana diketahui publik, televisi ini didukung penuh oleh induk usahanya, yakni Grup Indika, konglomerasi yang punya portfolio bisnis yang menyebar dari sektor batubara, utilitas, hingga media. Dari sekian banyak ragam bisnis tersebut, sektor batubara diketahui menjadi penopang utama grup ini.
Di sinilah cerita bersambung. Kebetulan beberapa bulan ke belakang, kinerja sektor batubara tengah meluncur di tren penurunan. Kondisi kurang baik ini juga menimpa PT Indika Energy Tbk. Tercatat perusahaan itu hanya mampu membukukan laba bersih US$ 12,66 juta pada semester I/2019 atau turun 83,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan laporan keuangan semester I/2019 yang dipublikasikan perseroan, Rabu (31/7/2019), Indika Energy mencetak pendapatan US$ 1,38 miliar per 30 Juni 2019. Nilai itu turun tipis 4,61 persen dari US$ 1,44 miliar pada semester I/2018.
Namun, beban pokok pendapatan perseroan tercatat naik 7,07 persen secara tahunan. Jumlah yang dikeluarkan emiten berkode saham INDY itu naik dari US$ 1,06 miliar pada semester I/2018 menjadi US$ 1,14 miliar pada semester I/2019.
Sementara itu, INDY melaporkan bagian laba bersih dari entitas asosiasi dan ventura bersama senilai US$ 15,02 juta pada semester I/2019. Pencapaian itu tumbuh 36,67 persen dari US$ 10,99 juta periode yang sama tahun lalu.
Dengan demikian, perseroan membukukan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$ 12,66 juta pada semester I/2019. Pencapaian itu turun 83,41 persen dari US$ 76,31 juta pada semester I/2018. Manajemen INDY menyebut perseroan mencetak laba inti senilai US$ 56,4 juta pada semester I/2019. Posisi itu turun dari US$ 112,39 juta pada semester I/2018.
Secara tak langsung, tentu sebagai penopang utama keuangan grup, turbulensi yang menimpa Indika Energy juga akan memukul seluruh perusahaan yang bernaung. Tak terkecuali NET TV.
Investasi Tinggi
Akhirnya manajemen Net mengakui memang ada proses efisiensi jumlah karyawan. Para karyawan secara sukarela diminta untuk mengundurkan diri demi perampingan organisasi.
Apalagi setelah berjalan lebih dari enam tahun sejak berdiri 2013, kinerja bisnis dan keuangan Net TV tidak sesuai harapan. Rating-nya masih kalah jauh dengan stasiun televisi lain. Alhasil pendapatan iklan juga seret.
Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan sangat masif. Termasuk investasi untuk menggunakan teknologi High Definition TV yang amat mahal. Teknologi HD ini yang bikin kualitas gambar Net TV paling bagus dibandingkan dengan stasiun televisi lainnya.
Inilah yang diungkapkan pengamat strategi dan manajemen Yodhia Antariksa. Menurut pria yang berdomisili di Bandung ini, tanda-tanda oleng NET TV itu terlihat ketika sejak November tahun lalu, Wishnutama tidak lagi menjabat sebagai CEO NET TV, sebuah pertanda bahwa visinya dianggap tidak lagi kompatibel dengan kepentingan bisnis dan keuangan Net.
Menurut Yodhia, ada tiga pelajaran bisnis yang bisa dipetik dari kisah kegagalan NET TV menjadi stasiun televisi yang kreatif sekaligus profitabel. Ada tiga pelajaran. Pertama, jangan salah menentukan target market. Kedua, tanpa profit, passion adalah omong kosong. Ketiga, rival bisnis bisa datang kapan saja, dari arah yang tak terduga.
Lalu, apakah isu PHK merupakan strategi tersendiri dari NET TV? Tak ada tahu dan berani memastikan. Yang menarik, publik mengetahui bahwa rencana NET TV melepas saham ke publik dipastikan gagal atau paling tidak tertunda. Dalam daftar calon emiten PT Bursa Efek Indonesia (BEI) per Juli 2019, tidak ada nama Net Visi Media.
Padahal, menurut data BEI per 24 Mei 2019, Net Visi Media tercatat sebagai salah satu dari 25 perusahaan yang akan melakukan IPO tahun ini. Namun, dalam daftar pipeline BEI per 8 Juli 2019 tidak ada lagi nama Net Visi Media.
Di sisi lain, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di Indonesia khususnya di Provinsi DKI Jakarta pada semester I/2019 menunjukkan peningkatan. Investasi sebesar Rp 54,5 triliun, yang berasal dari realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), telah terkucur. Realisasi investasi di Jakarta ini menyumbang 13,8% terhadap total realisasi investasi di Indonesia pada semester I/2019 sebesar Rp 395,6 triliun.
Lebih jauh lagi, realisasi investasi sebesar Rp54,5 triliun tersebut terdiri atas realisasi ivestasi PMDN sebesar Rp 26,7 triliun atau meningkat 5,5% dibandingkan periode yang sama 2018, yaitu Rp 25,3 triliun dan realisasi investasi PMA Rp 27,8 triliun atau turun 16,7% dari periode yang sama 2018, yaitu Rp 33,4 triliun.
Proyek investasi semester I/2019 untuk PMDN sebanyak 1.556 proyek dan PMA sebanyak 6.081 proyek. Adapun 5 sektor usaha terbesar yang diminati investor PMDN, yaitu transportasi, gudang dan telekomunikasi; perdagangan dan reparasi; jasa lainnya; konstruksi; serta industri kimia dan farmasi.
Sementara itu, lima sektor usaha terbesar yang diminati investor PMA, yaitu transportasi, gudang dan telekomunikasi; perumahan, kawasan industri dan perkantoran; jasa lainnya; perdagangan dan reparasi; serta pertambangan dengan sektor telekomunikasi masih menjadi salah satu primadona investasi PMA dan PMDN.
Apakah ini menjadi sinyal bahwa NET TV akan dijual secara langsung kepada investor strategis? Hanya waktu yang bisa membuktikannya.