Pertama kali mendengar berita akan dilaksanakan aksi Bela Mohammad Salah didepan kedutaan Spanyol kamis besok saya menganggapnya sebagai guyonan saja. Sampai akhirnya berita berkembang dan nyata sudah, berita itu sama sekali bukan sekedar guyonan.
Berita yang tadinya saya anggap lucu-lucuan semata, mendadak kehilangan sisi humornya, cenderung mengesalkan dan membuat saya mengelus dada, sepayah inikah mutu nalar kita. Kita memang benar-benar kehilangan selera humor, ataukah selera humor kita yang memang cuman segini.
Sekalipun membawa tema “aksi damai”, atensi berlebihan seperti ini rasanya tak perlu dilakukan. Jika memang bertujuan untuk berkumpul bersama mengumpulkan infak dan buka bersama sambil berbagi takjil, cukuplah sampai disitu saja. Tak perlu ada aksi menuntut dan sebagainya.
Aksi yang akan dikomandoi oleh Mohammad Dendi Budiman yang mengaku sebagai anggota BIGREDS Indonesia walaupun kemudian dibantah oleh VP Commercial & Communication BIGREDS karena nama tersebut tidak terdaftar di keanggotaan, menuntut dua point. Pertama menuntut Sergio Ramos untuk diadili dan kedua menuntut gelar Liga Champions Real Madrid.Tuntutan pertama masih masuk akal-lah tapi tuntutan kedua, rasanya cuman wujud ketidak relaan tim yang didukung, dikalahkan oleh tim lain.


Saya pribadi menyerah untuk mencoba tidak berpikiran sinis. Dari sudut pandang sepakbola, rasanya tak ada logika nalar yang bisa dipakai untuk memahami maksud Bapak Mohammad Dendi Budiman ini.
Kecuali dia adalah suami dari Ibu Dendi yang sedang berusaha menyaingi video viral sang istri, aksinya menginisiasi masa bisa jadi cara yang ampuh, tetapi inipun tidak, dia bukan suami dari Bu Dendi, confirmed.
Sepakbola sebagai sebuah permainan tidak dapat diukur dengan moral ataupun hukum yang berlaku umum di masyarakat. Aksi dilapangan murni adalah permainan yang melibatkan berbagai macam isi kepala yang menginterpretasikan sepakbola secara berbeda, itulah sebabnya apa yang terjadi dilapangan, idelanya habis dilapangan.
Ada sejuta aksi yang jelas-jelas akan masuk kategori kriminal ataupun pantas dikenakan sangsi sosial jika yang jadi ukuran berpikir adalah hukum ataupun norma masyarakat, oleh sebab itu permainan sepakbola diatur dengan “Laws Of The Game”, bukan kitab hukum undang-undang pidana atau norma masyarakat.
Itulah kenapa sepakbola selalu dimulai dengan jabat tangan dan diakhiri jabat tangan. Mereka sama-sama sepakat apa yang ada dilapangam tetaplah dilapangan. Trik penuh tipu daya, “kekerasan yang diregulasi” tetaplah dilapangan.
Jika apa yang dilakukan dalam permainan dilapangan diukur memakai hukum dan norma yang berlaku, maka adu badan yang jelas tak dapat dielakan jelas masuk sebagai kategori kekerasan, apa yang dilakukan Christiano Ronaldo dan Lionel Messi juga harusnya mendapat hukuman karena terlalu sering menipu orang lain dan para pelatih sepakbola jelas harus mendekam dipenjara karena merekalah yang paling bertanggung jawab “mengatur”, semua tindakan melanggar hukum tadi. Kejahatan yang terencana akan mendapat hukuman yang lebih berat. Kenapa tidak sekalian?.
Lalu tuntutan mencabut gelar liga champions. Ini yang menggelikan. Mencabut gelar tidak bisa seenak perut kita. Pertama kita berada di federasi yang berbeda dengam federasi yang menjalankkan Liga Champions Eropa, berikutnya tidak ada bukti yang menunjukan apa yang dilakukan Real Madrid adalah sesuatu yang ilegal.
Jika urusan dunia nyata soal agama sudah terlampau panas, sudahi saja disana. Tak perlu lagi pembahasan yang sama dibawa ke dunia sepakbola Terlampau sulitkah memaknai sepakbola sebagai urusan hiburan semata, tanpa membawa embel-embel agama atau hal lainya yang membuat kepala pening
Seingat saya tidak ada upaya serupa saat Fifa memberikan sanksi kepada Iraq, Iran, Kuwait, atau saat Zinedine Zidane “dikecewakan” Materazzi di Piala Dunia 2006 lalu, yang juga menyebabkan ia keluar lapangan dan gelar Piala Dunia menjadi milik Italia.
Ini hari-hari dimana sepakbola kita sedang berusaha berbenah menyambut Asian Games, dan atensi berlebih kita terhadap sepakbola justru berada di tempat yang jauh dari itu.
Saya sih berharap ini tidak perlu terjadi, jika memang bertujuan untuk bersilaturahmi berkumpul untuk mendoakan sebagai bentuk solidaritas kemudian mengumpulkan infak dan berbuka bersama tak apalah, silaturahmi itu hal yang penting dilakukan.
Ah tapi siapa saya berhak menentukan salah atau benarnya sudut pandang seseorang, sudahlah terserah Pak Dendi saja.
Salam