Lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing maupun afiliasinya yang beroperasi di Indonesia menjadi perhatian dalam kurun waktu terakhir. Menjadi perhatian karena aktivitas mereka cenderung mengganggu iklim investasi.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, menyatakan bahwa jejaring LSM dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia tanpa ada pelaporan maupun registrasi kepada pemerintah. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan Oleh Warga Negara Asing sudah menyatakan, LSM asing harus terdaftar dan punya kewajiban melaporkan sumber perdanaan mereka.
Sejauh ini, masih banyak LSM asing yang berupaya mengintervensi program-program pembangunan di Indonesia, terutama infrastruktur. Mereka menggunakan isu lingkungan hidup hingga rawan bencana untuk menggagalkan pembangunan infrastruktur di Tanah Air.
Dalam beberapa kasus, LSM asing menggunakan isu-isu yang menyesatkan dan riset yang cenderung subjektif. Mereka mengampanyekan dampak negatif sejumlah proyek pembangunan maupun industri sawit dengan menggunakan data yang tidak valid, bahkan menjurus pada kampanye hitam.
Di Sumatra Utara, beberapa LSM menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan alasan keberadaannya tidak diperlukan. Padahal, berdasar pengamat kehutanan yang juga sebagai Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Yanto Santosa, listrik yang saat ini memenuhi kebutuhan pasokan listrik di Sumatra Utara berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil yang disewa dari luar negeri. Dengan demkian, keberadaan PLTA Batang Toru diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia menambahkan, informasi keliru lain yang sering dijadikan rujukan adalah pembangunan kolam penampung air harian untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik PLTA tersebut. Seringkali dikampanyekan akan ada bendungan besar yang dibangun dan bakal merendam lahan hingga ribuan hektare. Faktanya, tak ada bendungan besar, melainkan hanya kolam penampung dengan luas sekitar 90-an hektare.
Profesor Yanto menyerukan LSM asing menghentikan kampanye hitam tentang pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di Tanah Air. Kampanye yang disuarakan LSM-LSM asing seringkali menghambat pembangunan.
Sementara itu, di Bali, Greenpeace Indonesia yang menggugat Pemprov Bali terkait izin pembangunan PLTU Celukan Bawang II, menyatakan akan melakukan banding setelah majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar menolak gugatan mereka. Yang menarik untuk dicermati kembali adalah pernyataan dari kuasa hukum pihak tergugat, pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, bahwa PLTU Celukan Bawang I, sudah beroperasi selama lima tahun, tetapi tidak ada gugatan dan tidak ada pencemaran lingkungan.
Aktivitas yang dilakukan oleh LSM-LSM asing di Indonesia tanpa mengindahkan Peraturan Pemerintah No.59/2016 dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Sah-sah saja bila ingin menjadi elemen eksternal yang mengawal dan menjaga kelestarian alam dan kebijakan pemerintah, asal patuh terhadap peraturan dan regulasi yang ada. Selain itu, bila melakukan kajian dan riset, haruslah secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tidak melihat dari satu sisi tertentu saja.
Janganlah riset yang belum valid dijadikan rujukan yang kemudian disebarluaskan ke tengah masyarakat, padahal pemerintah sebagai otoritas yang berwenang telah memiliki data. Kampanye yang dilakukan oleh LSM asing beserta afiliasinya tidak boleh menghambat atau mengganggu iklim investasi di Indonesia. Sebab, bila sudah menganggu iklim investasi, yang terkena dampak paling hebat adalah ekonomi Indonesia secara keseluruhan.