Kampanye global antisawit terkait kesehatan sebenarnya hanya merupakan kamuflase strategi Uni Eropa (UE) untuk memperkuat serapan minyak nabatinya di pasar global. Pendapat itu dilontarkan Prof. Pietro Paganini dari John Cabot University of Roma dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis (31/10/2019).
“Kampanye antisawit merupakan sikap proteksionis yang diterapkan Uni Eropa, terutama untuk mendukung para petaninya,” kata Paganini.
Menurutnya, ada beragam kampanye yang dilakukan untuk mencederai reputasi sawit demi memperkuat pasar minyak nabati global, salah satunya pelabelan palm oil free. Kampanye ini lebih condong digunakan untuk memengaruhi persepsi negatif publik terhadap sawit tentang kesehatan.
Paganini mengingatkan, masyarakat perlu menyadari bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari kampanye hitam produsen minyak nabati yang tersaingi oleh minyak sawit. “Sayangnya, kampanye juga ditunggangi oleh pihak lain seperti para pelaku industri makanan, NGO, dan kelompok politik di negara produsen sawit,” ujarnya.
Kampanye antisawit dianggap berhasil karena mampu menurunkan impor minyak sawit di beberapa negara besar UE. Dua di antaranya adalah Prancis dan Jerman. Kenaikan impor produk minyak sawit hanya terjadi di Spanyol, sedangkan permintaan Italia cenderung stagnan.
Secara umum tren pandangan negatif terhadap sawit di Uni Eropa meningkat. “Sering ditemukan publikasi yang menyatakan sawit merupakan musuh utama kesehatan,” tuturnya.
Keberhasilan kampanye antisawit karena banyak negara di Eropa lebih memperhatikan isu kesehatan dibandingkan dengan isu deforestasi. “Faktor ini menyebabkan penurunan permintaan sawit hingga 3,6 persen per tahun. Padahal hasil studi menunjukkan bahwa lemak jenuh yang berasal dari kelapa sawit tidak berbeda dibandingkan dengan sumber nabati yang lain,” ungkap Paganini.
Ia melihat, produk makanan dan minuman yang dibuat tanpa kandungan sawit sebenarnya tidak menjamin rasa yang lebih baik. Upaya tersebut juga tidak meningkatkan preferensi konsumen untuk membeli.
“Glycerol tidak hanya berasal dari kelapa sawit, tetapi juga minyak nabati yang lain. Kajian menunjukkan bahwa menghindari risiko kesehatan dengan menggunakan glycerol yang berasal dari nonsawit, justru berpotensi menimbulkan risiko kesehatan yang lain,” paparnya.
Paganini mengatakan, tuntutan NGO untuk meninggalkan penggunaan minyak sawit justru akan meningkatkan kerusakan lingkungan. Pasalnya, beberapa jenis komoditas minyak nabati yang lain justru membutuhkan lahan yang jauh lebih luas serta pemakaian pupuk kimia yang berlebihan.
“Kondisi ini berisiko pada penurunan luasan hutan global yang semakin meningkat,” katanya lagi.