Awal 2019 Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menorehkan pencapaian pribadi yang mengesankan. Wanita kelahiran Bandar Lampung ini dinobatkan sebagai Finance Minister of The Year 2019 oleh majalah keuangan The Banker.
Di tengah euforia kegembiraan, muncul kritik atas penghargaan tersebut. Prestasi Sri dikatakan hasil karbitan. Pasalnya, ekonomi Indonesia terbilang biasa saja. Pun terkait dengan manajemen anggaran negara yang selama ini menjadi kebanggaan utama, tak ketinggalan mendapat kritik pedas dari pihak oposisi.
Adalah anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dradjad Wibowo, menantang Sri menjelaskan lonjakan dana hibah yang masuk ke kas negara pada 2018. Pasalnya, lonjakan dana hibah tersebut terjadi di tahun politik.
Drajad menggunakan data yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemkeu). Dalam data itu penerimaan hibah 2018 mencapai Rp 13,9 triliun atau 1.161% dari target yang disepakati pemerintah dan DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Demi good governance, sebaiknya sumber hibah tersebut dibuka ke publik, terinci per pemberi hibah,” ujar Dradjad, yang juga Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), kepada Kompas.com, Rabu (2/1/2019).
Dradjad meminta agar pemerintah menjelaskan apa saja alasan pihak-pihak yang memberikan hibah dalam jumlah yang besar tersebut. Ia yakin, Kemenkeu dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempunyai rincian hibah tersebut mulai dari asal hibah hingga jumlah rincinya. “Pos hibah dalam penerimaan negara itu dulu biasanya berasal dari lembaga dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB,” katanya.
Kekhawatiran Drajad ini punya logika yang kuat. Berdasarkan data Kemkeu, belanja hibah pemerintah pusat hanya Rp 1,5 triliun pada 2018. Realisasi ini sama dengan target dalam APBN 2018. Belanja hibah 2018 lebih kecil dibandingkan dengan 2017 yang mencapai Rp 5,4 triliun.
Di kancah internasional pun, peristiwa keanehan anggaran negara seperti di Indonesia sedang terjadi. Adalah Pakistan, negeri yang tengah dirundung resesi, yang bahkan untuk menyalakan listrik saja penduduknya mesti berutang untuk membeli batubara impor, tiba-tiba dikabarkan hendak membeli 600 tank ringan dari Rusia.
Rumor yang beredar, Pakistan mendapatkan pinjaman besar dari Cina untuk mengakuisisi transaksi militer tersebut. Apakah Indonesia mengalami yang sama dengan Pakistan? Hingga sekarang belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah, terutama terkait dengan permintaan oposisi seputar penjelasan rincian dana hibah yang melonjak tiba-tiba.
Kembali ke Sri, walaupun dirundung kasus lonjakan dana hibah di tahun politik, tak mengurangi penghormatan rakyat Indonesia dan publik global atas kepiawaian sang bendahara negara. Dengan status media keuangan global ternama, The Banker jelas tak akan mungkin sembarangan memberikan penghargaan prestisius itu.
The Banker dikenal sebagai majalah keuangan internasional yang dimiliki Financial Times (The Nikkei), berbasis di London. Majalah ini juga merupakan sumber utama data dan analisis dalam industri keuangan dan perbankan.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan The Banker memberi penghargaan bagi Sri, pertama perekonomian negara masih terjaga ketahanannya di tengah berbagai bencana dan tragedi sepanjang 2018. Defisit produk domestik bruto (PDB) 2018 diperkirakan sekitar 1,86%, lebih rendah dari yang diperkirakan dalam APBN 2018 sebesar 2,19%.
Kedua, memodernisasi respon negara terhadap bencana alam melalui strategi pembiayaan risiko dan penjaminan/asuransi untuk mempercepat proses bantuan dan pemulihan pascabencana. Diketahui, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam pada 2018 seperti gempa di Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga tsunami Selat Sunda.
Ketiga, membuat serangkaian perubahan pada sistem perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara, seperti penyederhanaan proses pembayaran pajak dan penambahan lokasi tempat pembayaran pajak. Upaya ini dilakukan mengingat Global Competitiveness Report 2017 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-41 dari 138 negara, turun empat peringkat dari tahun sebelumnya.
Keempat, memotong tarif pajak penghasilan untuk perusahaan kecil dan menengah, sementara pajak e-commerce dikenakan pada perusahaan yang beroperasi dari luar negeri. Terakhir, mengurangi pajak pada layanan ekspor milik Indonesia dengan menjadikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 0% untuk menstimulasi sektor tersebut.
Sebagai penguat indikator penghargaan versi The Banker, baru-baru ini juga diumumkan bahwa realisasi pendapatan negara Indonesia berhasil melampaui pertumbuhan 100%. Tercatat, realisasi pendapatan negara pada 2018 mencapai Rp 1.942,3 triliun atau tumbuh sebesar 16,6% dibandingkan dengan 2017.
“Angka tersebut juga melampaui target APBN sebesar 102,5%,” kata Sri di Kemkeu, Selasa, 2 Januari 2018. Adapun target APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun.
Sri mengatakan, penerimaan perpajakan pada 2018 mencapai Rp 1.521,4 triliun atau tumbuh 13,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut merupakan 94% dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.618,1 triliun.
Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak atau PNBP pada 2018 mencapai Rp 407,1 triliun atau tumbuh 30,8%. Angka tersebut juga melampaui target APBN 2018 sebesar 147,8%.