Berita mengejutkan di akhir tahun. Muhammad Said Didu dicopot dari jabatannya sebagai komisaris PT Bukit Asam Tbk (PTBA), 28 Desember 2018. Keputusan itu diumumkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PTBA.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, mengatakan bahwa keputusan pencopotan Said sebagai Komisaris PTBA disebabkan perbedaan cara pandang dengan Perseroan. Namun, publik mengetahui bahwa di antara Said dan Rini terjadi silang pendapat, terutama terkait kritis Said atas divestasi Freeport, sebuah proyek prestisius dan kado akhir tahun rezim Jokowi yang begitu dibangga-banggakan.
Sebagaimana diketahui, mantan Sekretaris Kementerian BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengkritisi halus kebijakan divestasi pemerintah melalui akun twitternya, @saididu. Ia menjelaskan terdapat tiga pilihan bagi Indonesia dalam usaha mengakuisisi 51% saham Freeport.
Pertama, menghentikan kontrak dengan Freeport-McMoRan (FCX) dan mengambil alih sepenuhnya. Kedua, mengubah kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan mengambil langsung saham mayoritas. Ketiga, mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dengan pengambilan saham secara bertahap.
Di mana kesalahan Said? Lihat saja, dalam kulwit itu dia tidak sedikit pun menjelekkan cara yang ditempuh pemerintah. Permasalahannya adalah ia juga menyatakan bahwa pihak yang menyebut Indonesia bisa mendapatkan Freeport secara gratis setelah kontrak habis pada 2021, tidak sepenuhnya salah.
“Alasan tersebut tidak salah jika KK Freeport dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani 1991 tidak mencantumkan klausul yang memberikan keamanan investasi bagi Freeport McMoRan di Papua,” katanya.
Dalam KK generasi II yang ditandatangani pada 1991 itu tercantum bahwa pihak Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak 2×10 tahun setelah kontrak habis. Pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan rasional. Kontrak hanya tunduk pada undang-undang (UU) yang sudah berlaku saat kontrak ditandatangani.
“Alternatif penyelesaian kontrak setelah 2021 menjadi terbatas kecuali kita siap berperkara di arbitrase,” kata Said.
Jika sampai terjadi kasus arbitrase, operasional tambang Freeport bakal berhenti. Padahal, jika berhenti sekitar sebulan saja, menurutnya, Freeport akan sangat sulit bahkan tidak mungkin lagi dibuka dan dioperasikan selamanya karena ada persoalan teknis dan nonteknis yang muncul.
Keadaan semakin meruncing karena mantan Presiden SBY juga turut mengapresiasi apa yang disampaikan Said. Pernyataan SBY disampaikan lewat akun @SBYudhoyono. “Saya baru membaca kultwit Pak Said Didu tentang isu divestasi saham Freeport. Penjelasan yang sangat informatif, utuh, mendidik, “fair & balanced”.
Presiden SBY menilai Said memahami kompleksitas permasalahan dan dilema yang dihadapi setiap pemerintahan dalam menetapkan pilihan dan kebijakan terkait Freeport. SBY juga membela, dengan menyatakan Said tidak mau dan tidak gegabah menyalahkan kebijakan pemerintah manapun, termasuk pemerintahan zaman Presiden Soeharto, SBY, maupun Jokowi.
Apakah karena dukungan Presiden SBY itu Said Didu didepak? Tak ada yang tahu. Namun, dalam kesempatan lain, Menteri Rini mengungkapkan, pemikiran figur komisaris memang diharuskan mewakili para pemegang saham perusahaan karena bertujuan untuk kebaikan perseroan ke depannya.
“Dewan Komisaris itu menjaga dan mengawasi direksi untuk menjalankan kepentingan pemegang saham. Tujuanya apa? Bahwa perusahaannya harus dengan baik, cara kita dengan masyarakat bagaimana, pemikiran kita terhadap perusahaan itu seperti apa, komunikasi kita terhadap publik seperti apa, itu saja, simple,” paparnya.
Mengenai pemberhentian dirinya dari jabatan komisaris PTBA, Said menegaskan adanya perbedaan pemikiran. Ada tiga hal yang dijelaskan Said. Pertama, tentang penambahan utang BUMN. Kedua, pemberian tugas BUMN yang tidak sesuai dengan UU BUMN. Ketiga, pengangkatan komisaris atau direksi yang kurang prudent.
Di sisi lain, publik kadung mengetahui bahwa pada saat ini PTBA terbilang menjadi lokomotif pertumbuhan holding tambang BUMN. Terutama setelah perusahaan batu bara ini mengikat kontrak pengiriman dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kedua pihak sepakat menggunakan harga batu bara acuan (HBA) kuartal IV/2016.
Laporan keuangan PTBA pada kuartal I/2017 memperlihatkan, nilai penjualan batu bara PTBA ke PLN mencapai Rp 1,4 triliun. Jumlah ini setara 31% dari total pendapatan, yakni sebesar Rp 4,5 triliun. Tentu harga penjualan batu bara ke PLN akan berpengaruh pada pendapatan PTBA sepanjang tahun ini.
Dengan banyaknya arus kas di PTBA, tak salah bila perusahaan tersebut berencana melakukan ekspansi. Salah satunya dengan membeli tambang baru. Yang menarik, belum lama ini tersiar kabar bahwa Kementerian ESDM tidak merestui PTBA maupun PLN memiliki tambang milik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama.
Mayoritas dari tambang-tambang itu kontraknya akan berakhir 2019 dan 2020. Alasan yang diberikan oleh Kementerian ESDM, kendati akan berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, perusahaan PKP2B yang bakal habis masa kontrak berhak memperpanjang izin tanpa melalui proses lelang.
Apakah alasan ini terkait dengan pencopotan Said Didu? Hanya waktu yang bisa membuktikan