Krisis Brexit belum juga usai. Belum lama ini Perdana Menteri (PM) Inggris, Borris Johnson, membuat manuver mengejutkan publik. Johnson secara tiba-tiba membekukan parlemen dengan tujuan untuk memuluskan langkah menuju Brexit. Keputusan Johnson tersebut diambil setelah mendapatkan restu dari Ratu Elizabeth II, selaku kepala pemerintahan Inggris Raya.
Johnson membantah keputusan tersebut langkah politik untuk menghalangi pihak oposisi yang ingin menunda Brexit. Sesuai kesepakatan, Inggirs Raya seharusnya resmi meninggalkan Uni Eropa pada akhir Oktober 2019, tetapi kemudian ada perpanjangan waktu sampai akhir Januari 2020 mendatang.
Pembekuan yang dilakukan Johnson itu sempat menuai protes dari berbagai pihak. Yang paling kencang menentang adalah kubu opisisi. Menurut mereka, pembekuan parlemen sama saja dengan kudeta politik untuk memuluskan keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Kolega Johnson, mantan Menteri Keuangan Inggris, Phillip Hammond, bahkan mengatakan bahwa pembekuan tersebut tidak demokratis.
Pembekuan parlemen selama lima pekan mulai September lalu berdampak panjang. Bukan hanya dari politisi setempat, tetapi juga dari warga sipil. Warga Inggris yang keberatan dengan keputusan tersebut pun turun ke jalan untuk melancarkan protes atas kebijakan Johnson. Keputusan Johnson disebut-sebut bisa membatasi pengesahan sejumlah undang-undang yang sedang dibahas di parlemen.
Mahkamah Agung setempat menyatakan bahwa tindakan Johnson tersebut adalah pelanggaran hukum. Pemerintah harus bertanggung jawab. Menurut MA, keputusan tersebut bisa menghambat tugas parlemen selama lima minggu dari delapan minggu yang ada sebelum Brexit berlaku.
Partai oposisi sempat meminta Johnson mundur dari jabatannya karena keputusan yang dianggap ilegal. Johnson yang ketika itu sedang berada di New York menolak dan tetap kekueh dengan keputusannya. Johnson pun mencetuskan ide untuk pemilu dini bagi warga Inggris.
Parlemen Bubar, Pemilu Dini
Setelah kontroversi panjang, parlemen Inggris resmi bubar akhir Oktober kemarin. Kabar terbaru, publik Inggris Raya akan kembali menggelar pemilihan umum pada 12 Desember mendatang. Tentunya ini menjadi pemilu yang tak biasa sebab digelar menjelang liburan Natal di bulan Desember.
Pemilu dini tersebut sempat ditolak oleh kubu opisisi, yaitu Partai Buruh dan Partai Liberal Demokrat. Namun, akhirnya parlemen menyetujui usul Sang Perdana Menteri. Pemilu dini ditujukan membentuk pemerintahan mayoritas untuk meloloskan kesepakatan Brexit yang telah dicapai dengan Uni Eropa.
Penolakan terhadap pemilu dini berdampak pada penundaan berpisahnya Inggris dari Uni Eropa dan memperpanjang tenggat perpisahan sampai dengan 31 Januari 2020. Namun, Johnson bersikeras, Brexit dapat terwujud sebelum 2020. Sementara itu, pimpinan Partai Buruh, Jeremy Corbyn, berencana akan menggelar referendum kedua terkait masa depan Inggris di aliansi Uni Eropa.
Krisis Brexit ini tentunya berdampak panjang bagi masyarakat Inggris. Pastinya akan terus menaikkan suhu politik bila tidak segera disudahi. Konflik berkepanjangan akan berdampak ke berbagai lini, salah satunya ekonomi.
Kegiatan produksi bisa saja terhenti jika tak ada kesepakatan. Jika terjadi no deal dalam Brexit, diprediksi akan terjadi penghentian produksi sebesar 50.000 poundsterling atau Rp 875 juta setiap menitnya. Tentunya ini akan merusak produksi di Inggris.
Itu sebabnya semua elemen di Inggris diharapkan segera bersepakat dan tidak menambah kegaduhan. Salah satu dampak yang nyata adalah perekonomian yang tumbuh melambat di Inggris. Pada kuartal III ini, perekonomian Inggris hanya tumbuh 1 persen, angka pertumbuhan terendah sejak tahun 2010.
Krisis Brexit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini sudah berdampak signifikan pada perekonomian Inggris.