Sektor keamanan di Papua telah menjadi isu yang seolah tak ada habisnya. Dari awal sejarah berdirinya, pulau yang menyimpan beragam kekayaan alam itu menjadi saksi dari operasi militer terbesar yang digelar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di era Orde Lama, yang dikenal dengan nama Operasi Jayawijaya.
Dan setelah resmi menjadi bagian dari Indonesia lewat Perjanjian New York pada15 Agustus 1962, tidak merta menghentikan permasalahan keamanan di Papua. Sebaliknya, dimulailah situasi gangguan keamanan yang seperti tak berkesudahan hingga sampai sekarang. Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas gangguan keamanan yang terjadi, direspon pemerintah di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, dengan memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) selama 20 tahun.
Dilihat dari track record-nya, sejauh ini pemerintah dan pihak keamanan cukup berhasil menjaga stabilitas keamanan di Papua melalui sejumlah operasi militer. Seperti Pembebasan Sandera Mapenduma yang saat itu dipimpin Danjen Kopassus Prabowo Subianto, hingga di era reformasi ketika Polri memiliki domain yang lebih besar, atas bantuan TNI berhasil menyelamatkan 344 warga sipil yang terisolasi di Banti, Kimbeli, Distrik Tembagapura.
Namun, pada kasus penembakan di Distrik Yigi, Nduga, yang menewaskan 31 pekerja proyek, menimbulkan pertanyaan fundamental yang harus kita telaah bersama: sampai kapan situasi keamanan yang tidak stabil di Papua akan terus terjadi? Efektifkah langkah yang diambil pemerintah dan pihak keamanan meredam aksi teror yang diduga kuat dilakukan OPM melalui Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)?
Akar permasalahan di Papua disetujui banyak pihak tidak berdiri di atas satu isu, melainkan banyak faktor seperti sejarah, ideologi, ekonomi, sosial, diskriminasi, dan hak asasi manusia (HAM). Kepelikan ini terbukti dengan status Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diberikan pemerintah pada 2001, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2008, belum mampu menyelesaikan permasalahan di Papua.
Otsus justru menjadi bagian permasalahan itu sendiri. Pemerintah seperti hanya menitikberatkan persoalan di Papua pada sosial ekonomi dan peningkatan anggaran pembangunan saja, tetapi justru mengabaikan dialog politik yang terbuka guna menggali kembali permasalahan di Papua.
Jakarta menganggap permasalahan di Papua telah selesai saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Sementara rakyat Papua menganggapnya belum selesai. Perbedaan persepsi inilah yang mengakibatkan resistensi politik yang berkepanjangan.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan pihak keamanan telah menimbun berbagai permasalahan hukum dan HAM yang tidak terselesaikan secara tuntas, yang kemudian memunculkan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.
Koloni Indonesia ?
Dinamika di Papua sangat lekat dengan isu dan kepentingan politik yang rumit dan berbelit. Unsur keamanan baik TNI dan Polri serta Badan Intelijen Nasional (BIN) sebagai pihak yang menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan dan keamanan harus sangat berhati-hati dalam menyikapi permasalahan di Papua.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi permasalahan karena mempertahankan cara-cara represif malah semakin memperbesar ketidakpercayaan rakyat Papua. Ketidakpercayaan ini juga memunculkan dan menguatkan persepsi dari para aktivis pro kemerdekaan yang terus menyuarakan bahwa Papua dijajah dan dijadikan “koloni Indonesia”.
Senada dengan “propaganda” itu, para nasionalis men-stigma golongan pro kemerdekaan Papua sebagai separatis yang tidak boleh diberi ruang. Walau untuk berdialog dan bernegosiasi pun, mereka seolah menutup mata dan telinga atas ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang telah terjadi.
Selama pemerintah bersama pihak keamanan tidak mencoba untuk menyamakan persepsi tersebut, siklus kekerasan di Papua akan terus terjadi. Permasalahan di Papua bisa menjadi bom waktu dengan daya ledak yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dialog harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Kebutuhan dialog bahkan telah mencapai level urgensi. Bila pemerintah mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis, dialog terbuka dan menyeluruh mutlak dilakukan.
Sementara itu, pihak keamanan harus mengimbangi langkah represif dengan mengedepankan kemanusiaan. Keselamatan warga sipil yang tidak terkait dengan OPM harus menjadi perhatian serius kala pihak keamanan berusaha menjaga stabilitas keamanan. Kehadiran senjata di Papua akan semakin memudarkan simpati rakyat Papua terhadap pemerintah.
Hukum harus ditegakkan di Papua dengan seadil-adilnya tanpa ada diskriminasi. Pelaku kejahatan HAM harus diseret ke pengadilan. Bila upaya tersebut dilakukan pemerintah dengan serius, bukan tidak mungkin cita-cita golongan pro kemerdekaan Papua akan berubah menjadi simpati. Bagaimanapun, Papua adalah bagian dari Republik Indonesia yang harus dan sudah sepantasnya mendapat perlakuan dan perhatian yang sama dengan daerah lainya.