Kabar gembira datang kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Menter Kelautan dan Perikanan itu masuk dalam daftar 10 tokoh pemikir terbaik dunia versi Majalah Foreign Policy. Susi bersanding dengan orang-orang hebat di bidang keamanan dan pertahanan.
Foreign Policy menulis dalam situsnya mengenai komitmen Susi meregenerasi stok ikan vital negaranya dengan cara unik dan tak kenal takut. Salah satu yang membuat Susi dikenal adalah karena ia meledakkan kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan teritorial Indonesia. Pendekatan kasarnya meningkatkan ketegangan diplomatik dengan Cina.
Apakah kekasaran dan keberanian Susi itu menjadi satu-satunya indikator penghargaan bagi dirinya? Adalah menarik untuk menelusurinya lebih lanjut.
Antara Susi dan Hasina
Dalam kluster pertahanan dan keamanan, di atas Susi terdapat nama Sheikh Hasina, Perdana Menteri Bangladesh. Jika Susi terkait dengan perang terhadap illegal fishing, Hasina disebut telah membuat Bangladesh bermurah hati menampung 700.000 orang Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar. Hasina menyambut mereka dan membiarkan mereka tetap tinggal di negaranya.
Ketika Hasina membuka pintu bagi pengungsi Rohingya, ia dipuji dunia, salah satu yang paling gempita adalah pemerintah AS. Namun, ketika ia berkeputusan untuk memulangkan beberapa ribu orang, kecaman paling keras pun datang dari AS. Apakah Hasina dipuji karena membela kepentingan AS?
Tidak ada yang tahu sepak terjang kebijakan luar negeri AS di sana, tetapi logika ini menarik untuk dianalogikan ke Susi: apakah penghargaan bagi Susi karena ia telah menguntungkan pemerintah AS baik secara langsung ataupun tidak langsung? Bagaimana caranya? Siapa sangka, ternyata ada hubungan menarik di antara keduanya.
Susi Sang Sahabat
Telah lama diketahui, Majalah Foreign Policy menyuarakan kepentingan AS secara global. Siapa pun yang mendapatkan sorot perhatian dari media ini bisa dipastikan telah punya andil dalam membantu kepentingan AS dalam berbagai sektor, mulai dari sektor ekonomi, pertahanan, hingga humaniora.
Lalu, apa peran Susi? Entah sengaja atau tidak, segala kebijakan Susi atas laut Indonesia telah membuat suplai ikan global berkurang drastis dan itu memukul telak produsen ikan beku dari Asia, terutama Thailand Union PCL TUF.BK, produsen tuna kalengan terbesar di dunia.
Dominasi perusahaan ikan kalengan ini telah begitu menggurita, termasuk ke pasar domestik AS. Pada 2014, perusahaan ini telah setuju untuk membeli pesaingnya asal AS, Bumble Bee Seafoods, seharga US$ 1,5 miliar.
Pembelian ini akan memberi kendali kepada Uni Thailand atas beberapa jalur makanan laut paling terkenal di Amerika Utara, termasuk dua dari tiga merek tuna kalengan terbesar di AS. Langkah ini diambil dalam upaya mencapai pendapatan US$ 8 miliar pada 2020.
Thai Union telah beroperasi di AS selama lebih dari 17 tahun, dan Chicken of the Sea dari Thai Union adalah merek tuna terbesar ketiga di AS di belakang Bumble Bee. Merek teratas, Starkist, dimiliki oleh Dongwon Industries Co Ltd Korea Selatan.
Bumble Bee adalah produsen tuna dan sarden kalengan terbesar di Amerika Utara, dengan merek termasuk Brunswick dan Sweet Sue, yang dimiliki oleh perusahaan ekuitas swasta pan-Atlantik Lion Capital. Perusahaan itu membeli pembuat makanan laut dari ekuitas swasta lainnya sebesar US$ 980 juta pada 2010.
Akuisisi tersebut menjadi yang ketiga kalinya bagi Thai Union tahun itu setelah pembelian produsen ikan kalengan Norwegia King Oscar dan pemasok salmon asap Prancis, MerAlliance. Analis mengatakan, meningkatnya utang Thailand berarti perusahaan perlu menjual saham untuk meningkatkan modal agar bisa berkembang lebih jauh.
Setelah pembelian ini, Thai Union menghadapi serangkaian proses litigasi dari komisi antimonopoli AS. Sebagian menilai, proses itu adalah bentuk ketakutan AS terhadap dominasi perusahaan asing di pasar domestik mereka.
Sebagian lainnya menyatakan bahwa langkah komisi antimonopoli AS itu merupakan wujud fobia berlebihan Paman Sam terhadap Cina, mengingat sang CEO Thiraphong yang baru berumur awal 50 tahunan lahir di Provinsi Guangdong, Cina, dan punya koneksi bagus di negeri Tirai Bambu itu. Keadaan semakin menarik ketika seiring dengan gencarnya perang terhadap penangkapan ikan ilegal oleh Susi, konglomerasi perikanan ini mencatat penurunan profit nan drastis.
Walaupun Thai Union Group PCL melaporkan kenaikan 1,6% year-on-year untuk penjualan konsolidasi 2017 mencatat rekor 136,53 miliar bath, marjin laba kotor perusahaan itu hanya 13,3%, dibandingkan dengan 14,8% tahun sebelumnya. Harga tuna yang tinggi diakui berkontribusi pada margin yang lebih lemah.
Pada 2018, Thai Union Group melaporkan penurunan laba bersih grup 99% year-on-year dalam tiga bulan pertama. Perusahaan ini juga tercatat telah menyisihkan US$ 44 juta untuk menutup potensi biaya terkait litigasi AS atas dugaan penetapan harga pada semester I/ 2018.
Produsen tuna kalengan terbesar di dunia itu juga mengakui hanya membukukan laba bersih sebesar 9,63 juta baht (US$ 290.000) untuk kuartal pertama 2018 setelah biaya litigasi ini.
Sebagaimana diketahui, dari 2015 hingga 2016, grosir dan pengecer Amerika termasuk Walmart menggugat anak perusahaan Thai Union yang memproduksi tuna di bawah merek Chicken of the Sea, bersama dengan dua pesaing terbesarnya, karena diduga berkolusi untuk menetapkan harga. Thai Union mengklaim telah mencapai penyelesaian dengan Walmart pada kuartal terakhir, dan sedang dalam “negosiasi lanjutan” mengenai litigasi lainnya.
Namun tingginya biaya litigasi di AS bagi perusahaan sebesar Thai Union tentu tak semengkhawatirkan seretnya pasokan bahan baku dari perairan Indonesia. Suplai tuna yang kian sedikit tentu lebih punya imbas kepada tingkat keuntugan perusahaan.
Apakah ini dasar Foreign Policy memberikan penghargaan kepada Susi?