Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) terus merosot. Ada tiga penyebab utama, yakni berlimpahnya stok, naiknya kapasitas produksi, serta rendahnya penyerapan di pasar.
Stok minyak kelapa sawit di Malaysia per akhir Oktober diproyeksikan meningkat 14,1% secara bulanan (month-to-month atau MtM) ke level 2,9 juta ton, seperti dikutip Reuters. Jika terealisasi, level tersebut merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Peningkatan stok tersebut tidak lepas dari produksi yang diekspektasikan meningkat 5,7% MtM ke 1,96 juta ton pada bulan lalu. Pada saat bersamaan, ekspor justru diestimasikan menurun 13% MtM ke 1,41 juta ton di periode yang sama.
Tidak hanya dari Malaysia, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia juga diproyeksikan meningkat hampir sebesar 9% MtM pada September, menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Seiring produksi yang melambung tersebut, Gapki melaporkan stok minyak kelapa sawit mengalami peningkatan 0,2% MtM ke angka 4,6 juta ton di periode itu.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia. Peningkatan produksi dan stok dari dua negara tersebut jelas akan membebani harga. Masalah lain, harga CPO terpengaruh oleh koreksi harga minyak mentah dunia. Dalam sepekan ini, harga minyak mentah jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) amblas 4,67% secara point-to-point, sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa terkoreksi 3,64%.
Harga CPO untuk pengiriman November telah jatuh RM 15 menjadi RM 1.865 per ton. Dan kontrak berjangka patokan ditutup turun RM 6 pada RM 2.034 per ton. Ini merupakan terendah sejak September 2015.
Menurut Kepala Penelitian Perkebunan CIMB Investment Bank Bhd, Ivy Ng, kondisi ini akan berdampak pada kuartal keempat. “Memang CPO berjangka masih sedikit di atas angka RM 2.000, tetapi jika Anda melihat harga spot, mereka telah jatuh di bawah RM 2.000,” tuturnya.
Dampak rendahnya harga CPO di pasar dunia juga berimbas pada turunnya harga tandan buah segar (TBS) di level petani. Sebagai contoh, harga TBS kelapa sawit Provinsi Riau penetapan periode 14-20 November 2018 mengalami penurunan pada setiap kelompok umur.
Jumlah penurunan terbesar adalah pada kelompok umur kelapa sawit 10-20 tahun, sebesar Rp 145,72 per kg atau mencapai 9,98% dari harga minggu lalu. Akibatnya harga TBS kelompok umur 10-20 tahun periode minggu ini jatuh menjadi Rp 1.314,13 per kg.
Menurut Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran Perkembangan Mutu, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Riau, Tengku Neni, Selasa (13/11/2018), penurunan harga TBS ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Penerapan B20 Belum Menolong
Sejauh ini upaya yang dilakukan pemerintah agar bisa menyerap kelebihan produksi CPO dalam negeri adalah menetapkan kebijakan penggunaan biodiesel B20 untuk semua segmen kendaraan public services obligation (PSO) maupun non-PSO yang dimulai sejak 1 September 2018. Pemerintah mengklaim realisasi mandatori biodiesel 20% (B20) hingga Oktober 2018 telah mencapai 95%. Realisasi tersebut naik sekitar 10% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, hingga kuartal III/2018 penyaluran B20 sudah mencapai 2,53 juta kiloliter (kl) dari target tahun ini sebesar 3,92 juta kl. “Capaian dihitung dari penggunaan B20 PSO (public service obligation) maupun non-PSO, tetapi saya lupa volumenya berapa. Yang jelas mampu menekan impor minyak di dalam negeri,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, memandang keuntungan kebijakan B20 belum terlihat. “Tampaknya kebijakan tersebut saat ini belum mampu mendongkrak harga TBS petani karena memang belum lama dilaksanakan,” ungkap Mukti.
Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono, sempat mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan menurunkan pungutan ekspor kelapa sawit dan berbagai produk turunannya guna menaikkan harga CPO. “Pemerintah harus menurunkan pungutan ekspor. Pertama, untuk stok segera turun sehingga terjadi sentimen positif. Selanjutnya harga CPO bisa naik,” kata Joko.
Sejak 2015, pemerintah menetapkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah sebesar US$ 50 per ton dan US$ 30 untuk produk turunan CPO seperti digariskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, serta Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Joko merekomendasikan ada penurunan US$ 20 dolar per ton untuk setiap kategori, misalnya, untuk minyak kelapa sawit mentah menjadi US$ 30 per ton, produk turunan CPO (minyak sawit RBD/refined, bleached, and deodorized) US$ 10 per ton. Untuk produk dalam kemasan, bisa dibebaskan.
Dengan kondisi stok berlimpah dan produksi TBS yang tinggi, sepertinya sulit bagi pemerintah untuk mencegah turunnya harga CPO di pasar dunia dalam waktu dekat ini. Pasalnya, hukum pasar berlaku, bila suplai tinggi dan permintaan rendah, harga otomatis turun. Sebaliknya, kala suplai rendah dan permintaan tinggi, tentu harga otomatis merangkak naik. Walau begitu pemerintah tetap bertanggung jawab dan mesti terus mencari solusi terobosan agar harga CPO tidak terus turun.