Menyambut hari raya Galungan, pengungsi Gunung Agung asal Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali Selasa (31/10) memilih pulang ke desanya. Desa yang menjadi tempat tinggalnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari puncak kawah Gunung Agung.
Mereka pulang untuk mempersiapkan pelaksanaan ritual hari Raya Galungan yang merupakan hari suci umat Hindu di Bali.
“Kami pulang untuk mempersiapkan ritual upacara Galungan dimana pelaksanaanya pada (1/11) pagi. Namun, setelah upacara selesai, kami akan kembali lagi ke pengungsian di Tiyingan, Kabupaten Klungkung,” kata Wayan Murti (70), warga Banjar Lebih Desa Sebudi, Selasa (31/10).
Menurutnya, persiapan menyambut Hari Suci Galungan dilaksanakan sejak pagi hari mulai dari membuat “penjor” atau sarana ritual berbahan dasar bambu dihiasi berbagai jenis hasil bumi, banten atau persembahan buah-buahan dan juga berbagai jenis sarana ritual lainnya. Segala persiapan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan untuk upacara Galungan.
Wayan Murti mengaku Galungan merupakan hari penting baginya dan bagi umat Hindu pada umumnya. Galungan dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atau kebaikan melawan adharma (kejahatan). Galungan juga sebagai momentum berkumpul bersama sanak keluarga besar.
“Tahun ini Galungan serasa berbeda karena kami harus mengungsi. Penuh dengan kesederhanaan. Cukup makan dan lokasi pengungsian yang seadanya saja,” katanya.
Dikatakan lebih jauh, setelah dirinya selesai mempersiapkan sarana ritual Galungan, dirinya mengaku akan kembali lagi ke pengungsian karena tidak berani tidur di rumahnya pada malam hari, selain memang tidak enak hati dengan tetangga yang sebagian besar tidur di pengungsian pada malam hari.
“Saya memang tidak berani kalau tidur di rumah. Selain itu juga tidak enak juga karena semua warga kami mengungsi. Nanti dikira sok berani tidur dengan keadaan gunung seperti sekarang ini,” terangnya.
Hal senada juga dikatakan Nengah Pondoh (60), warga lainnya di Banjar Lebih mengaku membersiapkan berbagai jenis kebutuhan jelang perayaan Galungan yang ajan dilaksanakan Rabu (1/1) besok pagi. Sementara pihak keluarga pria mempersiapkan penjor dan makanan, sebaliknya yang perempuan mempersiapkan sarana banten dan sesajen yang bakal dijadikan sarana upacara.
Menurutnya, jarak rumah yang hanya empat kilometer dari puncak kawah membuatnya kadang was-was tinggal terlalu lama di desanya. “Kalau sudah malam pasti kembali ke pengungsian. Takut juga kalau lama-lama di rumah. Cari aman saja,” paparnya.