“Tak Ada Alasan Menunda Eksekusi Gedung DPRD Nagekeo”.
Pernyataan hakim Pengadilan Negeri (PN) Bajawa saat menerima utusan masayarakat adat Lape yang datang berunjuk rasa di Kantor PN Bajawa, Senin, 27 November 2017, jauh dari nalar hukum. Sang hakim mengatakan, eksekusi Gedung DPRD Nagekeo masih menunggu petunjuk Mahkamah Agung (MA) karena yang akan dirobohkan adalah aset negara.
PN Bajawa berhati-hati mengeksekusi aset negara. Mereka sudah menyurati Ketua MA untuk memohon petunjuk, tapi hingga saat masyarakat berunjuk rasa, surat petunjuk dari MA belum juga diperoleh.
PN Bajawa tidak perlu menunggu petunjuk MA. Menunda eksekusi putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah tindakan “buying time” atau mengulur waktu. Sebab, dari sisi hukum, semua prosedur sudah ditempuh dan setiap proses sudah dilewati. Hasilnya, putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap memerintahkan eksekusi.
Simak bunyi keputusan PN Bajawa berikut ini: “Menghukum para tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada penggugat atau mengosongkan tanah terperkara atau membongkar semua gedung apa saja yang terdapat di atas tanah milik penggugat tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat kalau perlu dengan bantuan aparat keamanan (polisi).” Ini adalah putusan PN Bajawa, hasil rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bajawa, Rabu, 24 Juli 2013, yang dihadiri Didimus Hartanto Dendot SH (hakim ketua), Yahya Wahyudi SH MH, dan Abdi Rachmasyah SH, masing-masing hakim anggota.
Ketika hendak dieksekusi, pihak tergugat Bupati Nagekeo Elias Djo mengajukan jalan damai dengan menyerahkan uang konsinyasi. Jalan damai buntu. Penggugat tidak bersedia menerima uang konsinyasi. Upaya selama kurang lebih empat tahun itu tidak membuahkan hasil. Mestinya, ketika jalan damai buntu, PN Bajawa bisa langsung eksekusi. Tapi, pihak tergugat masih terus mencari jalan untuk “buying time“.
Tergugat mengajukan kasasi konsinyasi ke MA agar penggugat dipaksa menerima uang konsinyasi. Tapi, pada 19 September 2017, MA memutuskan untuk menolak kasasi konsinyasi. Dengan demikian, tidak ada lagi upaya hukum yang masih tesedia. Semuanya sudah dipakai tergugat dan hasilnya kalah.
Sesungguhnya, permohonan konsinyasi pun tidak perlu dilakukan oleh tergugat. Semua ahli hukum berpendapat, terhadap perkara yang sudah inkracht, konsinyasi adalah langkah mengada-ada, hanya sekadar upaya mengulur waktu. Rakyat kini sudah mengerti hukum. Karena itu, kini saatnya eksekusi!
Aset negara berupa gedung DPRD Nagekeo yang dalam kondisi setengah jadi tidak bisa lagi menjadi alasan untuk menunda eksekusi. Sebab, sejak sejak gedung itu mulai dibangun tahun 2008, pihak penggugat sudah mengeluarkan larangan dan meminta tergugat untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Menunda eksekusi dengan alasan “ada aset negara di atasnya” adalah perbuatan melawan hukum. Kami masyarakat Lape, pemilik tanah ulayat yang disengketakan, adalah masyarakat yang taat hukum. Kami tidak pernah main hakim sendiri. Kami menempuh jalur hukum, dari awal hingga akhir selama 9 tahun.
Kami, rakyat jelata, sudah menunjukkan ketaatan terhadap hukum. Mengapa penegak hukum tidak taat hukum dan terkesan mempermainkan hukum? Mengapa PN Bajawa terus-menerus menunda dengan alasan sedang menunggu petunjuk MA? Tidak ada petunjuk yang perlu ditunggu untuk sebuah kasus hukum yang sudah inkracht.
Ringkasan Masalah
1. Gedung DPRD Nagekeo dibangun di atas lahan sengketa. Penggugat adalah Remi Konradus yang bertindak atas nama pemegang hak ulayat Suku Lape, Nagekeo. Tergugat atau termohon adalah Efraim Fao sebagai tergugat I, Bupati Nagekeo sebagai tergugat II, dan DPRD Nagekeo sebagai tergugat III. Tanah sengketa seluas 15.000 meter persegi atau 1,5 ha. Di atas lahan itu sudah dibangun gedung DPRD senilai Rp 10,3 miliar. Gedung itu belum selesai dan hingga saat ini masih disegel oleh penggugat.
2. Perkara sudah melewati (a) Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, (b) Pengadilan Tinggi Kupang, dan Mahkamah Agung (MA) untuk kasasi dan peninjauan kembali. Semuanya dimenangkan penggugat. ( c) Karena putusan MA hanya bersifat declaratoir, maka penggugat mengajukan gugatan baru ke PN Bajawa agar putusan bisa dieksekusi. PN Bajawa mengabulkan permohonan penggugat.
3. Ketika hendak dieksekusi, termohon meminta jalan damai dengan menitipkan uang konsinyasi di PN Bajawa sebesar Rp 2,5 miliar. Jalan damai buntu. Penggugat tidak mau lagi berdamai karena perjalanan perkara sudah terlalu panjang, lama, dan melelahkan. Setiap tahapan, penggugat selalu meminta untuk menempuh jalan damai. Tapi, tergugat tidak pernah mengacuhkan. Ketika putusan PN Bajawa hendak eksekusi, bupati Nagekeo baru mengajukan permohonan damai.
4. Karena penggugat menolak jalan damai dan tidak bersedia menerima uang konsinyasi, tergugat mengujukan permohonan kasasi konsinyasi ke MA sebagai upaya hukum terakhir.
5. Namun, MA pada putusannya tanggal 19 September 2017 menolak permohonan kasasi konsinyasi yang diajukan termohon/terdakwa Bupati Nagekeo Elias Djo.
6. Dengan demikian, eksekusi gedung DPRD Nagekeo tinggal menunggu keberanian moral PN Bajawa. Tidak perlu lagi korespondensi dengan MA karena semua masalah sudah jelas. Keputusan hukum sudah inkracht. Kini saatnya, PN Bajawa mengeksekusi lahan sengketa. Mengembalikan lahan sengketa kepada penggugat sebagai pemilik sah dan bangunan di atasnya harus dirobohkan, aset negara sekalipun.
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan agar publik mengetahuinya. Masalah gedung DPRD Nagekeo, sejatinya, bukan hanya masalah suku Lape dan Pemda Nagekeo, melainkan rakyat Indonesia seluruhnya. Karena gedung DPRD senilai Rp 10,3 miliar yang dibangun di atas tanah penggugat adalah uang rakyat Indonesia.
Terimakasih.
Kami Masyarakat Adat 7 Suku Lape
1. Ketua Suku Nakanawe Bpk Markus Aku
2. Ketua Suku Roga Wawo Bpk Wilem Repe
3. Ketua Suku Woerenge Bpk Seve Papu
4. Ketua Suku Ko Bpk Herman Lado
5. Ketua Suku Naka Zale Wawo Bpk Fabi Doze
6. Ketua suku Naka Zale Au Bpk Baltasar Gasa
7. Ketua Suku Roga Au Bpk. Silvester Sura
Mengetahui
Lembaga Persekutuan Adat Lape
Ketua
TTD
Fidelis Ph.Libha
Wakil
TTD
Fabianus Doze