Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres tersebut terbit 9 Agustus lalu.
Melalui aturan tersebut, dilakukan penghentian pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta areal penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian lzin Baru. Sebelumnya Presiden Jokowi telah mengeluarkan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Keberadaan Inpres Nomor 5/2019 memperlihatkan keseriusan pemerintah untuk menghentikan deforestasi hutan, pengurangan emisi karbon, dan kepedulian terhadap isu perubahan iklim. Namun, tetap ada kritik bahwa pembekuan izin perkebunan kelapa sawit Indonesia kurang transparan sehingga sulit untuk menilai efektivitasnya, dan pemerintah harus memberikan informasi terbaru.
“Setiap pembaruan dari pemerintah sekarang akan benar-benar bermanfaat bagi RSPO. Jika ada perusahaan yang terbukti melakukan praktik ilegal, kita tidak perlu memiliki proses uji tuntas yang panjang. Jika transparan kepada publik, lebih jelas bagian mana dari industri ini yang harus kita perbaiki,” kata Tiurma Rumondang, Direktur Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia, Selasa (5/11/2019).
Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyambut baik terbitnya Inpres tersebut, tetapi dia menyebut ada beberapa kelemahan, seperti tidak ada tranparansi data dan informasi terkait peta kehutanan. Kedua, peraturan dalam bentuk Inpres tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak memberikan sanksi kepada yang melanggar Inpres tersebut.
Luas Lahan Sawit 16,38 Hektare
Pascapenerbitan Inpres Nomor 8/2018, pemerintah menyebutkan terdapat 16,38 juta hektare tutupan sawit nasional. Data itu berdasarkan hasil rekonsiliasi atas data spasial yang dimiliki kementerian dan stakeholder terkait. Antara lain data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menganggap adanya aturan baru ini tidak terlalu berpengaruh pada industri sawit. Pasalnya, penerapan penundaan pemberian izin baru sudah dilakukan jangka waktu yang cukup lama.
“Moratorium sudah lama dari 2011 bahkan diperpanjang lagi oleh Presiden Jokowi pada 2017, kemudian dibuat permanen. Artinya, bahwa sebenarnya tidak ada izin-izin baru, hanya menyelesaikan izin yang sudah ada. Karena sudah lama, jadi tidak berpengaruh terhadap industri sawit,” tutur Eddy.
Dengan tak adanya lagi pemberian izin baru, upaya Indonesia untuk tetap mempertahankan produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) adalah melakukan intensifikasi dengan peremajaan (replanting) kelapa sawit. Saat ini terdapat 2,4 juta hektare lahan rakyat yang perlu peremajaan yang terdiri atas 1,5 juta hektare lahan petani swadaya dan 0,9 juta hektare lahan petani plasma.
Produktivitas tanaman sawit milik rakyat saat ini masih relatif kecil, hanya sekitar 2 hingga 3 ton per hektare. Salah satunya karena penggunaan benih dan bibit yang ala kadarnya sehingga potensi produksi kelapa sawit belum maksimal.
Jika petani menggunakan bibit dan benih yang tepat, produktivitas tanaman berpotensi meningkat menjadi sebesar 4,8 hingga 7,2 ton per hektare. Potensi pendapatan negara pun bisa mencapai US$3,4 sampai 5,02 miliar setiap tahunnya.
Pemerintah menargetkan menyelesaikan peremajaan kelapa sawit untuk area seluas 185 ribu hektare pada akhir 2019. Pemerintah juga mendorong dan mendukung upaya Gapki untuk menyelesaikan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi seluruh anggotanya pada akhir 2020.